Kamis, 11 Oktober 2012

Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia


Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
·         Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?

·         Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Tujuan otonomi daearah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.Pemerintah hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional. Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah. Untuk memberikan peluang kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan. Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di daerah. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.
Elemen utama dari desentralisasi adalah:
1.      Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.
2.      Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian sumber-sumber pendapatan dan transfer antarpemerintah.
Undang-undang di atas mencakup semua aspek utama dalam desentralisasi fiskal dan administrasi. Berdasarkan kedua undang-undang ini, sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan dialihkan dari pusat ke daerah sejak awal 2001 – dalam banyak hal melewati provinsi. Berdasarkan undang-undang ini, semua fungsi pelayanan publik kecuali pertahanan, urusan luar negeri, kebijakan moneter dan fiskal, urusan perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah otonom. Kota dan kabupaten memikul tanggung jawab di hampir semua bidang pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi bertindak sebagai koordinator. Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut dalam undang-undang, hal itu berada dalam tanggung jawab pemerintah daerah.
Pergeseran konstitusional ini diiringi oleh pengalihan ribuan kantor wilayah (perangkat pusat) dengan sekitar dua juta karyawan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung mulai tahun 2005. Lebih penting lagi, Dana Alokasi Umum atau DAU yang berupa block grant menjadi mekanisme utama dalam transfer fiskal ke pemerintah daerah, menandai berakhirnya pengendalian pusat terhadap anggaran dan pengambilan keputusan keuangan daerah. DAU ditentukan berdasarkan suatu formula yang ditujukan untuk memeratakan kapasitas fiskal pemerintah daerah guna memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Pemerintah Pusat juga akan berbagi penerimaan dari sumber daya alam — gas dari daratan (onshore), minyak dari daratan, kehutanan dan perikanan, dan sumber-sumber lain dengan pemerintah daerah otonom.
Kedua undang-undang baru ini serta perubahan-perubahan yang menyertainya mencerminkan realitas politik bahwa warga negara Indonesia kebanyakan menghendaki peran yang lebih besar dalam mengelola urusan sendiri. Meskipun demikian, tata pemerintahan lokal yang baik pada saat ini belum dapat dilaksanakan di Indonesia, meskipun sistem desentralisasi telah dilaksanakan. Periode yang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU No. 22/ 1999 yaitu periode transisi atau masa peralihan sistem. Artinya, secara formal sistem telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi. Tetapi, mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai pengguna jasa” adalah pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian tata pemerintahan lokal.
·         Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif.
Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority.
Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.
Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.
Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.
Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.
UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No. 32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.

·         Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan otonomi daerah
Sejak diberlakukannya otonomi daerah. Sebagian pemerintah daerah bisa melaksanakan amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 % pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun masih 80 % pemerintah daerah dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas yang di miliki manusia sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya baik,dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya.
Pentingnya posisi manusia pelakana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh sebap itu kualitas mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Anusia pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.      Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
2.      Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah
3.      Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.

·         Kepala daerah dan DPRD
Dalam negara kesatuan republik indonesia tugas kepla daerah di samping sebagai kepala daerah juga merupakan alat pemerintah pusat yang menjalani tugas yang sangat berat. Oleh sebap itu kualifikasi yang di tuntut seorang kepala daerah seharusnya juga memadai dalam pengertian harus sebanding dengan beban tugas ing dengan beban tugas yang ada di pundaknya.
Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada. Di mana yang berkaitan dengan kapasitas (pengetahuan dan kecakapan) hanya tiga syarat yang di penuhi masing-masing;cerdas,berkemampuan,dan keterampilan;mempunyai kecakapan dan pengelaman kerja yang cukup di bidang pemerintahan;berpengetahuan yang sederajat degan perguruan tinggi atau sekurang kurangnya di persamakan dengan sarjana muda.
Demikian pula halnya dengan mentalitas tidak terdapat ukuran-ukuran yang dapat di pergunakan sebagai tolok ukur objektif,sehinggga terdapat cukup banyak kesulitan dalam penilaian padahal peranan mental ini sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Kepala daerah yang didominasi oleh pertimbangan akseptabilitas (walaupun kadang kala tidak objektif) dari pada kualitas dan kapabilitas seseorang calon KDH.
Kepala daerah yang banyak mengorbankan  uang, lebih berorientasi kepada proyek pribadi, yaitu untuk memperoleh keuntungan secara finan­sial dan material.
Kepala daerah cenderung mem­bentuk kelompok-kelompok ditengah-tengah birokrasi, sehingga terdapat perlakuan yang diskriminatif dikala­ngan birokrasi.
Kepala daerah ada yang tidak konsisten terhadap visi dan misi daerah (walaupun disampaikan pada saat menjadi calon), karena menganggap visi dan misi yang disampaikan hanya untuk kepentingan sesaat.
Kepala daerah yang lebih berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan walaupun  dengan cara dan kebijaksanaan yang tidak memenuhi kaidah moral dan etika bahkan menyimpang dari peraturan dan perundangan.
Hal yang dikemukakan diatas merupakan kondisi dan gejala umum, walaupun   ada yang berbuat, berpri­laku dan membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan serta tujuan dari otonomi daerah tersebut, namun jumlahnya tidak seberapa. Untuk itu perlu adanya perubahan sistemik dengan cara sbb:
Untuk menjadi calon kepala daerah perlu diperhatikan kapabi­litasnya, tidak hanya akseptabilitasnya saja, oleh karena seorang kepala daerah tidak hanya pemimpin politik, tetapi juga pimpinan pemerintah yang didalamnya terdapat ilmu, seni, dan  teknis pemerintahan.
Dalam era globalisasi, penye­lenggaraan pemerintahan (pelaksanaan otonomi daerah) itu tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seorang calon kepala daerah harus memiliki basis ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat dan lingkungan.
Untuk Wakil kepala daerah sebaiknya tidak harus dari orang-orang partai politik, tetapi lebih diutamakan yang berpengalaman di birokrasi pemerintahan, sehingga wakil kepala daerah lebih terfokus membantu kepala daerah dalam hal-hal teknis peme­rintahan.
Perlu standar yang jelas tentang biaya untuk keikut sertaan dalam pemilihan kepala daerah, sungguhpun sulit diimplementasikan tetapi sudah ada suatu ukuran atau pedoman.
Kepala daerah dihindarkan dari intervensi terhadap hal-hal yang bersifat sangat teknis seperti administrasi keuangan, administrasi kepegawaian maupun administrasi proyek-proyek pembangunan. Yang dilakukan kepala daerah adalah menyusun dan menetapkan kebijakan umum, mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut serta memberikan motivasi dan pembinaan.
Dalam menjalankan kepemim­pinannya, kepala daerah harus memiliki kekuasaan, sebagai mana dikemukakan oleh Prof Dr J Kaloh: Kekuasaan paksaan (esencive power), kekuasaan resmi (legitimate power), kekuasaan keteladanan (referent power) dan kekuasaan keahlian (exper power).
Seperti halnya kepala daerah,DPRDpun memiliki beban tugas yang tidak ringan,karena tugas pokoknya adalah bersama-sama kepala daerah menetapkan kebijakan daerah baik yang berupa peraturan-peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD). Di samping itu DPRD ujga menjalankan fungsi pengawasan atas pelakanaan kebijakan daerah oleh kepala daerah. Dengan tugas dan fungsi semacam ini DPRD di tuntut untuk memiliki kualitas yang memadai
Dalam kenyataannya pendidikan dan pengelaman yang di miliki oleh DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat terbatas .rata- rata DPRD tidak di bekali dengan pendidikan dan pengelaman yang cukup di bidang pemerintahan. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah
Berdasarkan data tentang terjadinya tidak pidana korupsi di daerah sebagai contoh dari 35 daerah otonom kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Selama 2011 kasus korupsi yang ditangani Polda Jateng tercatat 78 kasus dengan 86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian negara sebanyak Rp 34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010 yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu pun kalah jauh yang hanya berjumlah 31 orang dengan kerugian negara Rp. 23.693.274.000 (Suara Merdeka, 13/12/2011).
Sepanjang 2004-2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat sebanyak 158 kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota. Sementara dalam periode 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Republika, 5/12/2011).
Rakyat merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat tidak terasakan oleh rakyat di daerah. Maka bisa ditebak bahwa pasti ada penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang sedang berjalan. Sebagai bukti visi, misi dan program otonomi daerah tersebut tidak optimal. Berdasarkan data Kementrian Dalam negeri yang menunjukkan bahwa 158 kasus korupsi kepala daerah. Sungguh suatu ironi pembangunan di negeri katulistiwa ini.
Otonomi yang digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan rakyat di daerah sebaliknya menjadi buah simala kama yang menelan korban kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat kepala daerah sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus korupsi yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan.
Hal ini membawa kerugian yang besar bagi daerah. Satu sisi mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis telah mengantarkan kader terbaik daerah tampil mempimpin daerahnya sendiri dengan harapan kedekatan psikologis bisa membangunkan semakin reformasi di daerah bisa lebih sejahtera. Namun sebaliknya menyebabkan moralitas dan mentalitas aparatur di daerah mudah tergiur dengan aliran dana pusat kepada daerah yang begitu besar. Sementara kemampuan profesionalitas pengelolaan anggaran belum mendapatkan pelatihan sumber daya yang memadai, sehingga banyak penyimpangan yang terjadi.
Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah ini maka suatu langka sistematis harus di ambil. Upaya-upaya meningkatkan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus,dan sebagainya,yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing perlu di tingkatkan.
Beberapa hal yang perlu dikemuka­kan yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu:
Dengan pola rekrutmen anggota DPRD yang lebih menekankan kepada aspek politis, maka ditemui anggota DPRD yang rendah kualitasnya baik dari segi pengetahuan maupun penga­lamannya.
Ada kecendrungan jadi anggota DPRD sebagai satu-satunya lapangan pekerjaan bukan pengabdian  sehingga lebih mementingkan imbalan yang bersifat material-finansial.
Kurang ada kemauan untuk belajar bagi peningkatan kapasitas pribadi, sehingga gagasan, pendapat ataupun pandangan hanya didasarkan kepada faktor subjektifitas.
Penguasaan yang minim tentang kedudukan, hak dan kewajiban sebagai anggota DPRD, sehingga sering implementasinya menempatkan diri sebagai penguasa bukan wakil rakyat.
Guna mendapatkan anggota DPRD yang berkualitas, maka hendaknya dalam persyaratan menjadi anggota DPRD ditentukan dasar pendidikan minimal yang sesuai dengan tingkat rata-rata pendidikan masyarakat.
Perlu pemahaman bagi anggota DPRD bahwa jabatan sebagai anggota DPRD bukan merupakan pekerjaan semata tetapi adalah jabatan kehormatan yang tidak bergantung kepada besarnya upah/gaji yang diterima.
Adanya kewajiban bagi setiap anggota DPRD untuk mendapatkan pembekalan dan pendalaman terhadap hal-hal yang menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan. Pembekalan tersebut hendaknya dilakukan oleh institusi pemerintah atau institusi yang profesional yang telah mendapatkan akreditasi dari pemerintah.
Penetapan Belanja DPRD sebaiknya proporsional dengan pen­dapatan daerah serta dalam rangka menunaikan fungsi serta tanggungjawab sebagai wakil dan penyalur aspirasi dari rakyat.
Otonomi daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan tersediannya undang-undang dan peraturan, tetapi sangat tergantung pada sumber daya manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya, kemauannya dan kemampuannya.
·         Aparatur pemerintah daerah
Salah satu atribut penting yang menandai suatu daerah otonom adalah di miliki aparatur pemerintah daerah tersendiri yang terpisah dengan aparatur pemerintah pusat yaang mampu menyelemggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri
Sebagai unsur pelaksana aparatur pemerintah daerah menduduki peranan yang sangat vital dalam keseluruhan prose penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu tidak berlebihan bila di katakan bahwa keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung kepada kemampuan aparaturnya.
Dalam kenyataan tuntutan akan kualitas yang memadai belum sepenuhnya terpenuhi sehingga akan menghambat proses penyelenggaraan otonomi daerah karena aparatur yang akan bersentuhan langsung dengan tugas yang akan dilaksanakan,sehingga penyelenggaraan otonomi daerah belum sesuai dengan yang di harapkan.
Masih rendahnya profesionalitas birokrasi, disebabkan antara lain pola rekruitmen yang belum sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan seleksi).
Pola pembinaan karir yang belum mempunyai aturan yang jelas dan pasti, sehingga mempengaruhi terhadap semangat dan budaya kerja birokrasi.
Penempatan pada suatu jabatan banyak dipengaruhi oleh pertimbangan like and dislike tidak the right man on the right place, bahkan tidak didasarkan kepada kompetensi  tetapi kepada kedekatan  dan bukan kepada pencapaian tujuan organisasi, tetapi kepentingan kekuasaan.
Masih berpengaruhnya kekuatan politik pada birokrasi daerah, sehingga loyalitas aparatur pemerintah cende­rung lebih kuat kepada kekuatan politik dari pada kepentingan masya­rakat dan menjalankan tugas peme­rintahan.
Paradigma birokrasi yang masih belum banyak berubah seperti merasa sebagai penguasa tidak sebagai pelayan, mengukur sesuatu pekerjaan hanya untuk kepentingan sesaat, ingin mencari kelemahan aturan untuk kepentingan diri sendiri tidak berusaha menyem­purnakan aturan, lebih mau bekerja sendiri dari pada bekerja secara TIM dan tidak mengembangkan inisiatif, inovatif dan kreasi,
Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah maka suatu langkah sistematis perlu di ambil. Upaya-upaya peningkatan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus dan sebagainya yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing perlu di tingkatkan. Pola rekrutmen telah membaik khusus perencanaan pengadaan dan seleksi. Namun masih diperlukan penyempurnaan tentang perencanaan yang diarahkan kepada kebutuhan (jumlah dan kualitas) jangka panjang.
Diperlukan pembinaan aparatur yang profesional tidak hanya melalui pendidikan atau latihan, tetapi memberi kesempatan utama mendapat jabatan atau pekerjaan kepada aparat yang telah memiliki profesi dibidang tugas tertentu.
Dalam menempatkan seseorang pada jabatan harus dipertimbangkan betul tentang profesinya dan melalui suatu seleksi (psiko, kesehatan dan kompetensi). Tes kompetensi tersebut, jika dimungkinkan oleh lembaga yang ahli dan independen.
Harus ada ketentuan yang tegas, bahwa politik tidak mencampuri penentuan penempatan untuk jabatan-jabatan struktural.
Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil dan profesional, sehingga tidak terkesan sama rata atau  diskriminatif.
Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya ditetapkan secara jelas dengan suatu peraturan perundangan sehingga akan menjadi pedoman dalam pembinaan aparatur di daerah.
·         Masyarakat
Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat sesungguhnya adalah pelaku utama, yang langsung “bersentuhan” atau berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, sangat naif jika kita menghendaki suatu kebijakan berhasil tanpa melibatkan masyarakat.
Persoalannya, hanya, sampai seberapa jauh kita dapat dan perlu menyertakan masyarakat dalam suatu kebijakan serta bagaimana membangun partisipasi aktif dari suatu masyarakat yang sedang dilanda krisis multi-dimensi, seperti masyarakat kita dewasa ini?
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa peran-serta masyarakat secara nyata dalam proses implementasi Otonomi Daerah berlum begitu menonjol. Kalau pun ada, yang terjadi bukanlah untuk menunjang kelancaran kebijakan Otonomi Daerah. Peran-serta masyarakat malah membuat kebijakan tersebut kerap dituding sebagai biang keladi terjadinya konflik – horizontal – di daerah. Mengapa?
Ada beberapa hal yang perlu kita kemukakan di sini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik. Pertama, apakah suatu UU yang kita terapkan menyentuh langsung kepentingan rakyat banyak atau tidak? Dengan kata lain, apakah UU dimaksud menguntungkan bagi rakyat atau tidak?
Banyak masyarakat yang apatis, acuh dan bahkan menentang suatu UU, seperti aksi buruh yang menentang UU Perburuhan dan aksi penentangan terhadap UU Lalu-Lintas Jalan Raya beberapa waktu lalu. Bila dikaji secara mendalam, semua penentangan masyarakat dimaksud dipicu oleh ketidak-berpihakan UU tersebut kepada masyarakat dan cenderung untuk merugikan mereka.
Kedua, kemungkinan kebijakan Otonomi Daerah, UU atau aturan pelaksanaaanya belum sampai kepada masyarakat dan kebijakan itu baru sebagian yang dipahami oleh para pejabat dan elite politik daerah.
Karena terpenggalnya komunikasi seperti itu, maka dapat dipahami bila Otonomi Daerah dalam praktiknya di lapangan malah menimbulkan permasalahan. Kebijakan yang dipahami secara sepotong-sepotong itu cenderung melahirkan “pengaturan” yang aneh pula. Contohnya, masyarakat dewasa ini di Indramayu, Jawa Barat, sudah mengadakan rapat-rapat “persiapan” lebaran yang menurut kabarnya akan melarang setiap kendaraan yang melalui jalur alternatif di wilayahnya.
Apakah larangan itu akan dikaitkan dengan sejumlah pungutan sebagai solusi agar kawasan tersebut dapat dilalui bus-bus besar, sampai sejauh ini kita belum tahu persis keputusan yang akan mereka ambil.
Jauh sebelum masyarakat Indramayu melakukan langkah itu, nelayan di Masalembo, Jawa Timur, telah membuat aturan bahwa nelayan daerah lain tidak boleh menangkap ikan di kawasan itu. Kapal nelayan yang membandel, secara beramai-ramai, akan disita.
Kapal tangkapan itu selanjutnya akan dibakar, atau dikembalikan kepada pemiliknya dengan uang tebusan dengan jumlah tertentu. Selain itu, berbagai macam aturan lain juga dibuat masyarakat lainnya, yang kerap memancing munculnya konflik.
Ketiga, belum ada kesadaran kita untuk melibatkan peran-serta aktif masyarakat secara nyata. Yang terjadi adalah bahwa masyarakat sering kita pergunakan hanya sebagai pelengkap, kalau tidak kita sebut sebagai pelengkap penderita.
Oleh karena itu, kita pun tidak begitu heran ketika kemudian terjadi berbagai kesenjangan di dalam masyarakat. Akibatnya, kita pun tidak perlu heran bila “kebijakan” atau pandangan antara elite politik dan pejabat daerah sering tidak “nyambung” dengan keinginan masyarakat. Contohnya, meskipun daerah mengeluarkan suatu Peraturan Daerah, belum tentu peraturan itu berjalan efektif, karena visi dan misi antara yang memerintah dan yang diperintah belum sama. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam proses kebijakan Otonomi Daerah, sementara ia tidak mengerti mengenai apa yang dikehendaki melalui pembentukan kebijakan tersebut. Dampaknya adalah, antara lain, bongkar-pasang Peraturan Daerah sepertinya sudah menjadi hal yang biasa.
1.      Belum dipahami oleh masya­rakat atau pun pemuka masyarakat bahwa otonomi daerah itu adalah juga merupakan kewajiban dan tanggung jawab masyarakat.
2.      Masih sedikit diberikan/diserah­kan kepada masyarakat untuk menge­lola kebutuhannya, masih diciptakan seolah-olah masyarakat tergantung kepada pemerintah.
3.      Belum dilakukannya perkuatan terhadap lembaga-lembaga masyarakat yang berorientasi kepada ekonomi dan kesejahteraan, yang diperkuat adalah yang berorientasi kepada politik dan kekuasaan.
Lantas, bagaimana caranya agar masyarakat dapat berperan-serta secara aktif dalam menyumbangkan pikiran dan tenaganya berkaitan dengan implementasi Otonomi Daerah?
1.      Pemberian pemahaman yang terus menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi daerah kepada pemuka masyarakat, tidak hanya berbentuk penyuluhan yang formil tetapi juga non formil, termasuk membuat kebijakan yang lebih memberi pemahaman implementatif tentang otonomi daerah di tingkat masyarakat.
2.      Memperbesar keikutsertaan masyarakat dalam pembuatan kebijakan maupun usaha-usaha peningkatan kesejahteraan (ekonomi dan sosial).
3.      Memperkuat lembaga-lembaga masyarakat dari segi manajemen dan keuangan diikuti dengan pembinaan serta pengawasan yang terus menerus.
4.      Mempermudah dan memfasilitasi masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan usaha-usaha yang produktif –ekonomis.
5.      Menggiatkan pendidikan kete­ram­pilan dan alih teknologi untuk masyarakat.
Ada beberapa pendekatan yang dapat diketengahkan untuk membangun partisipasi aktif masyarakat, yaitu: Pertama, aturan atau perundangan yang kita terapkan harus menyentuh dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Kita kita bisa berharap banyak bahwa masyarakat akan mau berperan-serta aktif, sementara aturan yang ada justru cenderung memberatkan mereka. Bila kebijakan Otonomi daerah yang diberlakukan dewasa ini belum mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, misalnya, hal ini boleh-jadi karena UU tersebut belum menyentuh kepentingan mereka.
Dengan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam UU yang kita bentuk, tanpa kita ajak pun, mereka secara otomatis akan berpartisipasi aktif. Hanya, sayangnya, dan itu yang sering terjadi, UU atau aturan yang kita buat kerap bukan untuk kepentingan masyarakat.
Kedua, perlu publikasi yang luas dan mendalam atas setiap kebijakan yang diberlakukan. Yang kita maksudkan publikasi disini adalah penjelasan atau sosialisasi kebijakan dimaksud kepada masyarakat. Selama ini yang sering kita pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan hanya diberikan kepada para elite politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang terbatas pula, tanpa melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat. Padahal kita tahu, kebijakan itu adalah untuk masyarakat dan aturan tersebut dikenakan kepada masyarakat. Sebab itu, sangat ironis jika mereka yang menjadi obyek suatu kebijakan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.
Kita sebut publikasi yang luas dan mendalam artinya adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas dan mudah dimengerti, karena masyarakat kita sangat majemuk, dengan tingkat pendidikan dan penalaran yang beragam pula. Sangat tidak masuk akal bila kita menjelaskan suatu kebijakan kepada mereka dengan bahasa ilmiah, politik, atau pun bahasa lain yang sulit dimengerti oleh “rakyat banyak”. Bila bahasa “canggih” atau yang tidak memasyarakat seperti itu yang kita pergunakan, hampir pasti bahwa penjelasan yang disampaikan tidak akan sampai atau menyentuh hati mereka.
Ketiga, kita juga perlu memilih dan mempergunakan media yang tepat guna. Artinya, media yang dikenal dan sering bersentuhan dengan masyarakat serta menggunakan bahasa rakyat akan jauh lebih efektif daripada media lainnya. Ia dapat berupa tabloid, majalah, surat kabar, televisi, dan bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat.
Dengan cara atau pendekatan seperti itu, kita yakin, pesan yang hendak kita sampaikan ke tengah-tengah masyarakat akan sampai dengan lebih baik. Media yang belum begitu banyak dilakukan dalam rangka sosialisasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini, misalnya, adalah dakwah, khotbah dan “ruang-ruang” pengajian. Padahal, media ini adalah merupakan salah satu alternatif media masyarakat yang dapat dipergunakan untuk memperkenalkan otonomi daerah secara lebih luas dan lebih efektif.
Lewat dakwah, pesan otonomi daerah akan lebih mengena, karena kesan yang ditangkap bukan menggurui, tetapi lebih cenderung mengajak dan mengajak untuk berbuat secara konkrit untuk kelancaran dan keberhasilan implementasi otonomi daerah. Melalui cara ini, umat diharapkan akan berpartisipasi secara aktif bersama umat beragama lainnya.
Jadi, bila peran-serta aktif masyarakat dalam implementasi otonomi daerah sekarang belum terlihat, bukan berarti bahwa mereka tidak perduli dan tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Tetapi, ada beberapa hal yang kurang kita perhatikan atau kita lupakan belakangan ini. Harapan kita, lewat apa yang kita ketengahkan di atas sebagai “urun rembug” untuk pencapaian tujuannya, di waktu mendatang, otonomi daerah akan dapat diterima oleh masyarakat secara baik dan benar. Dengan demikian, partisipasi aktif masyarakat untuk kelancaran dan keberhasilan implementasi otonomi daerah itu pun tidak perlu lagi diragukan.
·         Korupsi di Daerah
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?
Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten /kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari pemerintah kabupaten /kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin kuat.Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan lainnya.
Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi darah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan  asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah tidak otomatis menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing etnis. Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain secara alamiah, bahkan mekanisme pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili.
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik, berlakunya politik aliran menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.

Nama : Khaerunnisa
Npm : 23210879

Sumber :

2 komentar:

  1. Terima kasih infonya :) ijin copast juga sebagai referensi di blog saya :)

    BalasHapus
  2. Sangat bagus tulisannya, izin copast utk tambahan bahan presentasi saya

    BalasHapus