Sejak
diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering
membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi
daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk
mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu,
pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan
pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut
tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Akan
tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa
otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera
dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya?
Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa
disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi
daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila
dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan
ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
·
Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang
lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan
pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam
kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko
bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi,
perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah
harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai
pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif
daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan
jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak
dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu
mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini
tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh
institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam
negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan
utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu
salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa
banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi
dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari
rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan retribusi yang
harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai
ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI
Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek
pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi.
Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda
tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa
label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu.
Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame,
sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi
nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan
(sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau
tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan
retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa
upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini
telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita
harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan
sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan
tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari
rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran
kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari
rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan
pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak
mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis
jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus
ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang
dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung
secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah
kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak
mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi
dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah.
Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya
akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan
perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin menarik
minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru
mengurangi minat investor untuk berinvestasi ?
·
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah
yang belum mantap
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan
pemerintah lokal. Tujuan otonomi daearah membebaskan pemerintah pusat dari
beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga
pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.Pemerintah hanya
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Desentralisasi diperlukan dalam rangka peningkatan efisiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai wahana pendidikan politik
di daerah. Untuk memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional.
Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari
daerah. Untuk memberikan peluang kepada masyarakat utntuk membentuk karir dalam
bidang politik dan pemerintahan. Sebagai sarana bagi percepatan pembangunan di
daerah. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Oleh karena
itu pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi haruslah mantap.
Elemen utama dari desentralisasi
adalah:
1.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang
kemudian diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
mengatur wewenang serta tanggung jawab politik dan administratif pemerintah
pusat, provinsi, kota, dan kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi.
2.
Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang
kemudian diubah menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi
desentralisasi fiskal dengan menetapkan aturan baru tentang pembagian
sumber-sumber pendapatan dan transfer antarpemerintah.
Undang-undang di atas mencakup semua aspek utama dalam
desentralisasi fiskal dan administrasi. Berdasarkan kedua undang-undang ini,
sejumlah besar fungsi-fungsi pemerintahan dialihkan dari pusat ke daerah sejak
awal 2001 – dalam banyak hal melewati provinsi. Berdasarkan undang-undang ini,
semua fungsi pelayanan publik kecuali pertahanan, urusan luar negeri, kebijakan
moneter dan fiskal, urusan perdagangan dan hukum, telah dialihkan ke daerah
otonom. Kota dan kabupaten memikul tanggung jawab di hampir semua bidang
pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan prasarana; dengan provinsi
bertindak sebagai koordinator. Jika ada tugas-tugas lain yang tidak disebut
dalam undang-undang, hal itu berada dalam tanggung jawab pemerintah daerah.
Pergeseran konstitusional ini diiringi oleh pengalihan
ribuan kantor wilayah (perangkat pusat) dengan sekitar dua juta karyawan,
pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung mulai tahun 2005. Lebih
penting lagi, Dana Alokasi Umum atau DAU yang berupa block grant menjadi
mekanisme utama dalam transfer fiskal ke pemerintah daerah, menandai
berakhirnya pengendalian pusat terhadap anggaran dan pengambilan keputusan
keuangan daerah. DAU ditentukan berdasarkan suatu formula yang ditujukan untuk
memeratakan kapasitas fiskal pemerintah daerah guna memenuhi kebutuhan
pengeluarannya. Pemerintah Pusat juga akan berbagi penerimaan dari sumber daya
alam — gas dari daratan (onshore), minyak dari daratan, kehutanan dan
perikanan, dan sumber-sumber lain dengan pemerintah daerah otonom.
Kedua undang-undang baru ini serta perubahan-perubahan yang
menyertainya mencerminkan realitas politik bahwa warga negara Indonesia
kebanyakan menghendaki peran yang lebih besar dalam mengelola urusan sendiri.
Meskipun demikian, tata pemerintahan lokal yang baik pada saat ini belum dapat
dilaksanakan di Indonesia, meskipun sistem desentralisasi telah dilaksanakan.
Periode yang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU No. 22/ 1999
yaitu periode transisi atau masa peralihan sistem. Artinya, secara formal
sistem telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi. Tetapi,
mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerah masih belum
mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena perubahan sistem
tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia yang menunjang sistem
pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang
sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat “sebagai
pengguna jasa” adalah pelayanan publik yang ideal. Untuk merealisasikan bentuk
pelayanan publik yang sesuai dengan asas desentralisasi diperlukan perubahan
paradigma secara radikal dari aparat birokrasi sebagai unsur utama dalam
pencapaian tata pemerintahan lokal.
·
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum
memadai
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan
pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang
diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan
walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di
bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan
satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk
mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada
bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang
memadai antara eksekutif dan legislatif.
Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik
riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri
pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan
pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan
sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa
setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati
sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang
mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi
bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka
yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan
demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul
setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis.
Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius
memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat
dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru.
Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai
peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang
baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang
demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak
efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan
kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang
tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan
sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di
mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan
bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh
asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan
apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena
“putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman
sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang
mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan
Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum.
Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah
seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan
yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena
perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde
Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam
MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga,
Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah
mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih
bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua,
berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara
terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk
negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam
makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang
disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang
seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto
Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU
Nomor 32 Tahun 2004).
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim
disebut delegation of authority.
Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi
delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi.
Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator
tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama
mandator.
Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya
pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah
otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah
pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan,
bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a.
politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan
fiskal, f. agama.
Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan
pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah
otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI.
Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan
daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.
Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup
baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten.
Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut
pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan
urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan
tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa
melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan
fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang
semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.
UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan
berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007
tentang pembagian urusan. Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah,
namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih
komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No. 32/2004 untuk lebih
menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah.
·
Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang
sepenuhnyapelaksanaan otonomi daerah
Sejak diberlakukannya otonomi daerah. Sebagian pemerintah
daerah bisa melaksanakan amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat,
menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data yang ada 20 %
pemerintah daerah mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah
kesejahteraan rakyat di daerah. Namun masih 80 % pemerintah daerah dinilai
belum berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi.
Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat di wujudkan
pertama-tama dan terutama di tentukan oleh kapasitas yang di miliki manusia
sebagai pelaksananya. Penyeenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan
sebaik-baiknya apabil manusia pelaksananya baik,dalam arti mentalitas maupun
kapasitasnya.
Pentingnya posisi manusia pelakana ini karena manusia
merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai
subjek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh sebap itu kualitas
mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya
melahirkan impikasi yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi
daerah. Anusia pelaksana pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.
Pemerintah daerah yang terdiri dari
kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
2.
Alat-alat perlengkapan daerah yakni
aparatur daerah dan pegawai daerah
3.
Rakyat daerah yakni sebagai komponen
environmental (lingkungan)yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah
sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
·
Kepala daerah dan DPRD
Dalam negara kesatuan republik indonesia tugas kepla daerah
di samping sebagai kepala daerah juga merupakan alat pemerintah pusat yang
menjalani tugas yang sangat berat. Oleh sebap itu kualifikasi yang di tuntut
seorang kepala daerah seharusnya juga memadai dalam pengertian harus sebanding
dengan beban tugas ing dengan beban tugas yang ada di pundaknya.
Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang
kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada. Di mana yang
berkaitan dengan kapasitas (pengetahuan dan kecakapan) hanya tiga syarat yang
di penuhi masing-masing;cerdas,berkemampuan,dan keterampilan;mempunyai
kecakapan dan pengelaman kerja yang cukup di bidang pemerintahan;berpengetahuan
yang sederajat degan perguruan tinggi atau sekurang kurangnya di persamakan
dengan sarjana muda.
Demikian pula halnya dengan mentalitas tidak terdapat
ukuran-ukuran yang dapat di pergunakan sebagai tolok ukur objektif,sehinggga
terdapat cukup banyak kesulitan dalam penilaian padahal peranan mental ini
sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Kepala daerah yang didominasi oleh pertimbangan akseptabilitas
(walaupun kadang kala tidak objektif) dari pada kualitas dan kapabilitas
seseorang calon KDH.
Kepala daerah yang banyak mengorbankan uang, lebih
berorientasi kepada proyek pribadi, yaitu untuk memperoleh keuntungan secara
finansial dan material.
Kepala daerah cenderung membentuk kelompok-kelompok
ditengah-tengah birokrasi, sehingga terdapat perlakuan yang diskriminatif
dikalangan birokrasi.
Kepala daerah ada yang tidak konsisten terhadap visi dan
misi daerah (walaupun disampaikan pada saat menjadi calon), karena menganggap
visi dan misi yang disampaikan hanya untuk kepentingan sesaat.
Kepala daerah yang lebih berorientasi untuk mempertahankan
kekuasaan walaupun dengan cara dan kebijaksanaan yang tidak memenuhi
kaidah moral dan etika bahkan menyimpang dari peraturan dan perundangan.
Hal yang dikemukakan diatas merupakan kondisi dan gejala
umum, walaupun ada yang berbuat, berprilaku dan membuat kebijakan
sesuai dengan ketentuan serta tujuan dari otonomi daerah tersebut, namun
jumlahnya tidak seberapa. Untuk itu perlu adanya perubahan sistemik dengan cara
sbb:
Untuk menjadi calon kepala daerah perlu diperhatikan kapabilitasnya,
tidak hanya akseptabilitasnya saja, oleh karena seorang kepala daerah tidak
hanya pemimpin politik, tetapi juga pimpinan pemerintah yang didalamnya
terdapat ilmu, seni, dan teknis pemerintahan.
Dalam era globalisasi, penyelenggaraan pemerintahan
(pelaksanaan otonomi daerah) itu tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Oleh karena itu seorang calon kepala daerah harus memiliki basis
ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat dan lingkungan.
Untuk Wakil kepala daerah sebaiknya tidak harus dari
orang-orang partai politik, tetapi lebih diutamakan yang berpengalaman di
birokrasi pemerintahan, sehingga wakil kepala daerah lebih terfokus membantu
kepala daerah dalam hal-hal teknis pemerintahan.
Perlu standar yang jelas tentang biaya untuk keikut sertaan
dalam pemilihan kepala daerah, sungguhpun sulit diimplementasikan tetapi sudah
ada suatu ukuran atau pedoman.
Kepala daerah dihindarkan dari intervensi terhadap hal-hal
yang bersifat sangat teknis seperti administrasi keuangan, administrasi
kepegawaian maupun administrasi proyek-proyek pembangunan. Yang dilakukan
kepala daerah adalah menyusun dan menetapkan kebijakan umum, mengawasi
pelaksanaan kebijakan tersebut serta memberikan motivasi dan pembinaan.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, kepala daerah harus
memiliki kekuasaan, sebagai mana dikemukakan oleh Prof Dr J Kaloh: Kekuasaan
paksaan (esencive power), kekuasaan resmi (legitimate power), kekuasaan
keteladanan (referent power) dan kekuasaan keahlian (exper power).
Seperti halnya kepala daerah,DPRDpun memiliki beban tugas
yang tidak ringan,karena tugas pokoknya adalah bersama-sama kepala daerah menetapkan
kebijakan daerah baik yang berupa peraturan-peraturan daerah dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah(APBD). Di samping itu DPRD ujga menjalankan
fungsi pengawasan atas pelakanaan kebijakan daerah oleh kepala daerah. Dengan
tugas dan fungsi semacam ini DPRD di tuntut untuk memiliki kualitas yang
memadai
Dalam kenyataannya pendidikan dan pengelaman yang di miliki
oleh DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat terbatas .rata- rata DPRD
tidak di bekali dengan pendidikan dan pengelaman yang cukup di bidang
pemerintahan. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi
daerah
Berdasarkan data tentang terjadinya tidak pidana korupsi di
daerah sebagai contoh dari 35 daerah otonom kabupaten dan kota di Jawa Tengah.
Selama 2011 kasus korupsi yang ditangani Polda Jateng tercatat 78 kasus dengan
86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian negara sebanyak Rp
34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010 yang
berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu pun kalah jauh yang hanya
berjumlah 31 orang dengan kerugian negara Rp. 23.693.274.000 (Suara Merdeka,
13/12/2011).
Sepanjang 2004-2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
mencatat terdapat sebanyak 158 kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang
terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota. Sementara dalam periode
2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi
(Republika, 5/12/2011).
Rakyat merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit,
namun kesejahteraan rakyat tidak terasakan oleh rakyat di daerah. Maka bisa
ditebak bahwa pasti ada penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang
sedang berjalan. Sebagai bukti visi, misi dan program otonomi daerah tersebut
tidak optimal. Berdasarkan data Kementrian Dalam negeri yang menunjukkan bahwa
158 kasus korupsi kepala daerah. Sungguh suatu ironi pembangunan di negeri
katulistiwa ini.
Otonomi yang digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan
rakyat di daerah sebaliknya menjadi buah simala kama yang menelan korban
kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat kepala daerah sebagai kader
terbaik di daerah terjerat kasus korupsi yang sangat menyedihkan dan
memprihatinkan.
Hal ini membawa kerugian yang besar bagi daerah. Satu sisi
mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis telah mengantarkan kader
terbaik daerah tampil mempimpin daerahnya sendiri dengan harapan kedekatan
psikologis bisa membangunkan semakin reformasi di daerah bisa lebih sejahtera.
Namun sebaliknya menyebabkan moralitas dan mentalitas aparatur di daerah mudah tergiur
dengan aliran dana pusat kepada daerah yang begitu besar. Sementara kemampuan
profesionalitas pengelolaan anggaran belum mendapatkan pelatihan sumber daya
yang memadai, sehingga banyak penyimpangan yang terjadi.
Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah ini
maka suatu langka sistematis harus di ambil. Upaya-upaya meningkatkan syarat
pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi
latihan,kursus,dan sebagainya,yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi
tanggungjawabnya masing-masing perlu di tingkatkan.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan
yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu:
Dengan pola rekrutmen anggota DPRD yang lebih menekankan
kepada aspek politis, maka ditemui anggota DPRD yang rendah kualitasnya baik dari
segi pengetahuan maupun pengalamannya.
Ada kecendrungan jadi anggota DPRD sebagai satu-satunya
lapangan pekerjaan bukan pengabdian sehingga lebih mementingkan imbalan
yang bersifat material-finansial.
Kurang ada kemauan untuk belajar bagi peningkatan kapasitas
pribadi, sehingga gagasan, pendapat ataupun pandangan hanya didasarkan kepada
faktor subjektifitas.
Penguasaan yang minim tentang kedudukan, hak dan kewajiban
sebagai anggota DPRD, sehingga sering implementasinya menempatkan diri sebagai
penguasa bukan wakil rakyat.
Guna mendapatkan anggota DPRD yang berkualitas, maka
hendaknya dalam persyaratan menjadi anggota DPRD ditentukan dasar pendidikan
minimal yang sesuai dengan tingkat rata-rata pendidikan masyarakat.
Perlu pemahaman bagi anggota DPRD bahwa jabatan sebagai
anggota DPRD bukan merupakan pekerjaan semata tetapi adalah jabatan kehormatan
yang tidak bergantung kepada besarnya upah/gaji yang diterima.
Adanya kewajiban bagi setiap anggota DPRD untuk mendapatkan
pembekalan dan pendalaman terhadap hal-hal yang menyangkut legislasi, anggaran
dan pengawasan. Pembekalan tersebut hendaknya dilakukan oleh institusi
pemerintah atau institusi yang profesional yang telah mendapatkan akreditasi
dari pemerintah.
Penetapan Belanja DPRD sebaiknya proporsional dengan pendapatan
daerah serta dalam rangka menunaikan fungsi serta tanggungjawab sebagai wakil
dan penyalur aspirasi dari rakyat.
Otonomi daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan
tersediannya undang-undang dan peraturan, tetapi sangat tergantung pada sumber
daya manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya, kemauannya dan
kemampuannya.
·
Aparatur pemerintah daerah
Salah satu atribut penting yang menandai suatu daerah otonom
adalah di miliki aparatur pemerintah daerah tersendiri yang terpisah dengan
aparatur pemerintah pusat yaang mampu menyelemggarakan urusan-urusan rumah
tangganya sendiri
Sebagai unsur pelaksana aparatur pemerintah daerah menduduki
peranan yang sangat vital dalam keseluruhan prose penyelenggaraan otonomi
daerah. Oleh karena itu tidak berlebihan bila di katakan bahwa keberhasilan
penyelenggaraan otonomi daerah sangat bergantung kepada kemampuan aparaturnya.
Dalam kenyataan tuntutan akan kualitas yang memadai belum
sepenuhnya terpenuhi sehingga akan menghambat proses penyelenggaraan otonomi
daerah karena aparatur yang akan bersentuhan langsung dengan tugas yang akan
dilaksanakan,sehingga penyelenggaraan otonomi daerah belum sesuai dengan yang
di harapkan.
Masih rendahnya profesionalitas birokrasi, disebabkan antara
lain pola rekruitmen yang belum sempurna (menyangkut perencanaan kebutuhan dan
seleksi).
Pola pembinaan karir yang belum mempunyai aturan yang jelas
dan pasti, sehingga mempengaruhi terhadap semangat dan budaya kerja birokrasi.
Penempatan pada suatu jabatan banyak dipengaruhi oleh
pertimbangan like and dislike tidak the right man on the right place, bahkan
tidak didasarkan kepada kompetensi tetapi kepada kedekatan dan
bukan kepada pencapaian tujuan organisasi, tetapi kepentingan kekuasaan.
Masih berpengaruhnya kekuatan politik pada birokrasi daerah,
sehingga loyalitas aparatur pemerintah cenderung lebih kuat kepada kekuatan
politik dari pada kepentingan masyarakat dan menjalankan tugas pemerintahan.
Paradigma birokrasi yang masih belum banyak berubah seperti
merasa sebagai penguasa tidak sebagai pelayan, mengukur sesuatu pekerjaan hanya
untuk kepentingan sesaat, ingin mencari kelemahan aturan untuk kepentingan diri
sendiri tidak berusaha menyempurnakan aturan, lebih mau bekerja sendiri dari
pada bekerja secara TIM dan tidak mengembangkan inisiatif, inovatif dan kreasi,
Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah maka
suatu langkah sistematis perlu di ambil. Upaya-upaya peningkatan syarat
pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi
latihan,kursus dan sebagainya yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi
tanggung jawab masing-masing perlu di tingkatkan. Pola rekrutmen telah membaik
khusus perencanaan pengadaan dan seleksi. Namun masih diperlukan penyempurnaan
tentang perencanaan yang diarahkan kepada kebutuhan (jumlah dan kualitas)
jangka panjang.
Diperlukan pembinaan aparatur yang profesional tidak hanya
melalui pendidikan atau latihan, tetapi memberi kesempatan utama mendapat
jabatan atau pekerjaan kepada aparat yang telah memiliki profesi dibidang tugas
tertentu.
Dalam menempatkan seseorang pada jabatan harus
dipertimbangkan betul tentang profesinya dan melalui suatu seleksi (psiko,
kesehatan dan kompetensi). Tes kompetensi tersebut, jika dimungkinkan oleh
lembaga yang ahli dan independen.
Harus ada ketentuan yang tegas, bahwa politik tidak
mencampuri penentuan penempatan untuk jabatan-jabatan struktural.
Pola Reward and Punishment ditegakkan secara adil dan
profesional, sehingga tidak terkesan sama rata atau diskriminatif.
Pola pembinaan karir para aparatur hendaknya ditetapkan
secara jelas dengan suatu peraturan perundangan sehingga akan menjadi pedoman
dalam pembinaan aparatur di daerah.
·
Masyarakat
Masyarakat menjadi salah satu faktor penting bagi setiap
kebijakan yang diberlakukan, karena masyarakat sesungguhnya adalah pelaku
utama, yang langsung “bersentuhan” atau berkepentingan dengan kebijakan
tersebut. Oleh karena itu, sangat naif jika kita menghendaki suatu kebijakan
berhasil tanpa melibatkan masyarakat.
Persoalannya, hanya, sampai seberapa jauh kita dapat dan
perlu menyertakan masyarakat dalam suatu kebijakan serta bagaimana membangun
partisipasi aktif dari suatu masyarakat yang sedang dilanda krisis
multi-dimensi, seperti masyarakat kita dewasa ini?
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa peran-serta
masyarakat secara nyata dalam proses implementasi Otonomi Daerah berlum begitu
menonjol. Kalau pun ada, yang terjadi bukanlah untuk menunjang kelancaran
kebijakan Otonomi Daerah. Peran-serta masyarakat malah membuat kebijakan
tersebut kerap dituding sebagai biang keladi terjadinya konflik – horizontal –
di daerah. Mengapa?
Ada beberapa hal yang perlu kita kemukakan di sini berkaitan
dengan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik. Pertama, apakah
suatu UU yang kita terapkan menyentuh langsung kepentingan rakyat banyak atau
tidak? Dengan kata lain, apakah UU dimaksud menguntungkan bagi rakyat atau
tidak?
Banyak masyarakat yang apatis, acuh dan bahkan menentang
suatu UU, seperti aksi buruh yang menentang UU Perburuhan dan aksi penentangan
terhadap UU Lalu-Lintas Jalan Raya beberapa waktu lalu. Bila dikaji secara
mendalam, semua penentangan masyarakat dimaksud dipicu oleh ketidak-berpihakan
UU tersebut kepada masyarakat dan cenderung untuk merugikan mereka.
Kedua, kemungkinan kebijakan Otonomi Daerah, UU atau aturan
pelaksanaaanya belum sampai kepada masyarakat dan kebijakan itu baru sebagian
yang dipahami oleh para pejabat dan elite politik daerah.
Karena terpenggalnya komunikasi seperti itu, maka dapat
dipahami bila Otonomi Daerah dalam praktiknya di lapangan malah menimbulkan
permasalahan. Kebijakan yang dipahami secara sepotong-sepotong itu cenderung
melahirkan “pengaturan” yang aneh pula. Contohnya, masyarakat dewasa ini di
Indramayu, Jawa Barat, sudah mengadakan rapat-rapat “persiapan” lebaran yang
menurut kabarnya akan melarang setiap kendaraan yang melalui jalur alternatif
di wilayahnya.
Apakah larangan itu akan dikaitkan dengan sejumlah pungutan
sebagai solusi agar kawasan tersebut dapat dilalui bus-bus besar, sampai sejauh
ini kita belum tahu persis keputusan yang akan mereka ambil.
Jauh sebelum masyarakat Indramayu melakukan langkah itu,
nelayan di Masalembo, Jawa Timur, telah membuat aturan bahwa nelayan daerah
lain tidak boleh menangkap ikan di kawasan itu. Kapal nelayan yang membandel,
secara beramai-ramai, akan disita.
Kapal tangkapan itu selanjutnya akan dibakar, atau
dikembalikan kepada pemiliknya dengan uang tebusan dengan jumlah tertentu.
Selain itu, berbagai macam aturan lain juga dibuat masyarakat lainnya, yang
kerap memancing munculnya konflik.
Ketiga, belum ada kesadaran kita untuk melibatkan peran-serta
aktif masyarakat secara nyata. Yang terjadi adalah bahwa masyarakat sering kita
pergunakan hanya sebagai pelengkap, kalau tidak kita sebut sebagai pelengkap
penderita.
Oleh karena itu, kita pun tidak begitu heran ketika kemudian
terjadi berbagai kesenjangan di dalam masyarakat. Akibatnya, kita pun tidak
perlu heran bila “kebijakan” atau pandangan antara elite politik dan pejabat
daerah sering tidak “nyambung” dengan keinginan masyarakat. Contohnya, meskipun
daerah mengeluarkan suatu Peraturan Daerah, belum tentu peraturan itu berjalan
efektif, karena visi dan misi antara yang memerintah dan yang diperintah belum
sama. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin masyarakat dapat
berperan-serta aktif dalam proses kebijakan Otonomi Daerah, sementara ia tidak
mengerti mengenai apa yang dikehendaki melalui pembentukan kebijakan tersebut.
Dampaknya adalah, antara lain, bongkar-pasang Peraturan Daerah sepertinya sudah
menjadi hal yang biasa.
1.
Belum dipahami oleh masyarakat atau
pun pemuka masyarakat bahwa otonomi daerah itu adalah juga merupakan kewajiban
dan tanggung jawab masyarakat.
2.
Masih sedikit diberikan/diserahkan
kepada masyarakat untuk mengelola kebutuhannya, masih diciptakan seolah-olah
masyarakat tergantung kepada pemerintah.
3.
Belum dilakukannya perkuatan
terhadap lembaga-lembaga masyarakat yang berorientasi kepada ekonomi dan
kesejahteraan, yang diperkuat adalah yang berorientasi kepada politik dan
kekuasaan.
Lantas, bagaimana caranya agar masyarakat dapat
berperan-serta secara aktif dalam menyumbangkan pikiran dan tenaganya berkaitan
dengan implementasi Otonomi Daerah?
1.
Pemberian pemahaman yang terus
menerus mengenai hakikat dan tujuan Otonomi daerah kepada pemuka masyarakat,
tidak hanya berbentuk penyuluhan yang formil tetapi juga non formil, termasuk
membuat kebijakan yang lebih memberi pemahaman implementatif tentang otonomi
daerah di tingkat masyarakat.
2.
Memperbesar keikutsertaan masyarakat
dalam pembuatan kebijakan maupun usaha-usaha peningkatan kesejahteraan (ekonomi
dan sosial).
3.
Memperkuat lembaga-lembaga
masyarakat dari segi manajemen dan keuangan diikuti dengan pembinaan serta
pengawasan yang terus menerus.
4.
Mempermudah dan memfasilitasi
masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan usaha-usaha yang produktif –ekonomis.
5.
Menggiatkan pendidikan keterampilan
dan alih teknologi untuk masyarakat.
Ada beberapa pendekatan yang dapat diketengahkan untuk
membangun partisipasi aktif masyarakat, yaitu: Pertama, aturan atau perundangan
yang kita terapkan harus menyentuh dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
Kita kita bisa berharap banyak bahwa masyarakat akan mau berperan-serta aktif,
sementara aturan yang ada justru cenderung memberatkan mereka. Bila kebijakan
Otonomi daerah yang diberlakukan dewasa ini belum mampu meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat, misalnya, hal ini boleh-jadi karena UU tersebut
belum menyentuh kepentingan mereka.
Dengan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam UU yang
kita bentuk, tanpa kita ajak pun, mereka secara otomatis akan berpartisipasi
aktif. Hanya, sayangnya, dan itu yang sering terjadi, UU atau aturan yang kita
buat kerap bukan untuk kepentingan masyarakat.
Kedua, perlu publikasi yang luas dan mendalam atas setiap
kebijakan yang diberlakukan. Yang kita maksudkan publikasi disini adalah
penjelasan atau sosialisasi kebijakan dimaksud kepada masyarakat. Selama ini
yang sering kita pantau dan tangkap, sosialisasi kebijakan hanya diberikan
kepada para elite politik atau pejabat tertentu, dalam jumlah yang terbatas
pula, tanpa melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat. Padahal kita tahu,
kebijakan itu adalah untuk masyarakat dan aturan tersebut dikenakan kepada
masyarakat. Sebab itu, sangat ironis jika mereka yang menjadi obyek suatu
kebijakan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.
Kita sebut publikasi yang luas dan mendalam artinya adalah
memberikan penjelasan kepada masyarakat dengan bahasa masyarakat, yang jelas
dan mudah dimengerti, karena masyarakat kita sangat majemuk, dengan tingkat
pendidikan dan penalaran yang beragam pula. Sangat tidak masuk akal bila kita
menjelaskan suatu kebijakan kepada mereka dengan bahasa ilmiah, politik, atau
pun bahasa lain yang sulit dimengerti oleh “rakyat banyak”. Bila bahasa
“canggih” atau yang tidak memasyarakat seperti itu yang kita pergunakan, hampir
pasti bahwa penjelasan yang disampaikan tidak akan sampai atau menyentuh hati
mereka.
Ketiga, kita juga perlu memilih dan mempergunakan media yang
tepat guna. Artinya, media yang dikenal dan sering bersentuhan dengan
masyarakat serta menggunakan bahasa rakyat akan jauh lebih efektif daripada
media lainnya. Ia dapat berupa tabloid, majalah, surat kabar, televisi, dan
bahkan para ulama dan tokoh agama dalam masyarakat.
Dengan cara atau pendekatan seperti itu, kita yakin, pesan
yang hendak kita sampaikan ke tengah-tengah masyarakat akan sampai dengan lebih
baik. Media yang belum begitu banyak dilakukan dalam rangka sosialisasi
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini, misalnya, adalah
dakwah, khotbah dan “ruang-ruang” pengajian. Padahal, media ini adalah
merupakan salah satu alternatif media masyarakat yang dapat dipergunakan untuk
memperkenalkan otonomi daerah secara lebih luas dan lebih efektif.
Lewat dakwah, pesan otonomi daerah akan lebih mengena,
karena kesan yang ditangkap bukan menggurui, tetapi lebih cenderung mengajak
dan mengajak untuk berbuat secara konkrit untuk kelancaran dan keberhasilan
implementasi otonomi daerah. Melalui cara ini, umat diharapkan akan
berpartisipasi secara aktif bersama umat beragama lainnya.
Jadi, bila peran-serta aktif masyarakat dalam implementasi
otonomi daerah sekarang belum terlihat, bukan berarti bahwa mereka tidak
perduli dan tidak menghendaki adanya kebijakan tersebut. Tetapi, ada beberapa
hal yang kurang kita perhatikan atau kita lupakan belakangan ini. Harapan kita,
lewat apa yang kita ketengahkan di atas sebagai “urun rembug” untuk pencapaian
tujuannya, di waktu mendatang, otonomi daerah akan dapat diterima oleh
masyarakat secara baik dan benar. Dengan demikian, partisipasi aktif masyarakat
untuk kelancaran dan keberhasilan implementasi otonomi daerah itu pun tidak
perlu lagi diragukan.
·
Korupsi di Daerah
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak
kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya
praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan
ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan
menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan
studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan
kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh
lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9)
bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau
17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan
kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas
aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara
bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari
kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang
yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu
dilakukan dengan sangat terbuka.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi
pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement).
Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari
harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang
jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan
bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah
dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak
pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan
kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa
drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?
Adanya
potensi munculnya konflik antar daerah
Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah,yaitu
konflik horizontal yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerntah
kabupaten /kota,sebagai akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
yang menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota menganggap
kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada pemerintah provinsi.Ada arogansi
pemerintah kabupaten /kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari
pemerintah kabupaten /kota.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala
etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin kuat.Indikasi
etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daearah yang menyangkut
pemekaran daerah,pemilihan kepala daerah,rekruitmen birokrasi lokal dan
pembuatan kebijakan lainnya.
Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah
konflik. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik
belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah
telah mengkotak-kotakan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering.
Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya
dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan
menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik
horizontal sangat mudah tersulut. Di era otonomi darah tuntutan pemekaran
wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI
terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah
menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan
seterusnya. Semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan
perpecahan terjadi. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin
terjadi, bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur
tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi
daerah, bantuan-bantuan keuangan bisa langsung menerobos ke kampung-kampung.
Sebenarnya pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada
daerah tidak otomatis menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional.
Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kedaerahan yang
berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar etnis di Indonesia
selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam dan komprehensif
mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masingmasing etnis. Yang mengemuka
justru pola-pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak
ada mekanisme yang dapat mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain
secara alamiah, bahkan mekanisme pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas.
Misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur
dengan pedagang daging didasarkan atas etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era
transisi ini belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai
ruang kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun
didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh
putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak dalam ruang
politik karena ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak warga negara di
mana pun ia berdomisili.
Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal
sebagai kesatuan nilai, kultur, kustom, adat istiadat dan bukan sebagai
konsep politik. Perspektif ini juga mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam
arti sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan lokalitas adalah unik
sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi,
budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman
inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa
etnisitas. Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik
dan terfragmentasi, turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme.
Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear
tanpa adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation.
Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial.
Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan
bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi
Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi
bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik, berlakunya politik aliran
menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan
karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi memahami
etnis lain di luar stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang kemudian
timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan identitas kebangsaan
yang inheren dalam nasionalisme.
Nama : Khaerunnisa
Npm : 23210879
Sumber :
Terima kasih infonya :) ijin copast juga sebagai referensi di blog saya :)
BalasHapusSangat bagus tulisannya, izin copast utk tambahan bahan presentasi saya
BalasHapus